Lahir
di Makkah tahun 579 M. Dia salah seorang tokoh Quraisy yang sangat
terkenal dan ditakuti baik oleh lawan maupun kawan. Dia berasal dari
keluarga kelas menengah Quraisy Makkah, Banu Adiy.
Umar bin Khattab RA
“Jika akan ada nabi setelahku, maka dia adalah Umar.” – Muhammad Rasulullah SAW
Ayahnya bernama Khattab ibn Nufayl, keturunan Banu Adiy dan ibunya bernama Hantama bint Hisham, dari Banu Makhzum. Masa kecil dan remajanya dihabiskan dengan bekerja untuk kaumnya, mengembala unta dan domba, dan mengumpulkan kayu bakar.
Ayahnya adalah seorang saudagar dan pemeluk polytheism yang taat. Dia mendidik Umar RA dengan disiplin yang sangat keras. Umar RA pernah menuturkan, “Ayahku,
Al-Khattab, adalah seseorang yang keras. Dia selalu membuatku bekerja
keras. Kalau aku tidak bekerja dia suka memukulku dan membuatku bekerja
hingga keletihan.”
Umar bin Khattab RA tumbuh menjadi seorang pemuda yang berwatak keras
dan tak kenal takut. Dia berperawakan tinggi besar dan bertubuh kuat.
Dia berjalan dengan langkah yang cepat. Dia berbicara dengan suara yang
tegas dan lantang. Dan dia memukul dengan tenaga.
“Jikalau Umar mengambil satu jalan maka setan akan mengambil jalan yang lain. Mereka takut kepada Umar.” – Muhammad Rasulullah SAW
Namun, dibalik wataknya yang keras, hatinya mudah tersentuh. Umar RA
sangat perasa. Kesenangannya bersendirian dikala menjaga unta membangun
karakter kritis dan bijaksana. Kebenaran selalu mengalir dari lidahnya.
Instingnya selalu tepat seolah-olah para malaikat berbicara kepadanya.
Dia menegakkan pilar-pilar keadilan dan dia adalah sosok pemimpin ummah.
Masa Muda
Seperti umumnya pemuda-pemuda Quraisy, Umar bin Khattab RA bekerja
untuk kaum keluarganya, menjaga unta serta melakukan pekerjaan-pekerjaan
rutin lainnya. Setelah mencapai usia dewasa, Umar RA berpikir untuk
menjadi seorang merchant (saudagar) dan pergi bersama rombongan
Quraisy ke as-Sham untuk berdagang. Perjalanannya melihat tempat-tempat
baru serta bertemu dengan orang-orang asing membuka wawasan dan cara
berpikirnya menjadi lebih luas dan lebih global.
Umar bin Khattab RA gemar berkumpul bersama tokoh-tokoh dan kaum
bangsawan Quraisy. Namanya dikenal luas oleh orang-orang seperti Al-Hakam ibn Abi al-`As ibn Umayyah, Amr ibn Hisham, Abu Sufyan ibn Harb, Abu Lahab, Mughirah ibn Abdullah, Suhayl ibn Amir, maupun Utba ibn Rabi`ah. Mereka menyenangi karakter serta kecerdasan Umar RA yang kritis dan logis.
Umar bin Khattab RA sering mendapat tugas untuk mewakili Banu
Quraisy –seperti seorang duta besar– dalam setiap forum maupun
pertemuan-pertemuan penting yang membahas isu-isu politik serta masalah
keamanan bersama suku-suku atau bangsa-bangsa lain yang ada di dalam
maupun di luar Makkah. Suatu posisi yang terhormat dan disegani untuk
seorang pemuda yang belum menginjak usia 28 tahun.
Mengenal Muhammad SAW Dan Pengikutnya
Bagi Umar bin Khattab RA (sebelum menjadi Muslim), Muhammad SAW
adalah seorang saudagar yang sukses dengan bisnisnya, tidak berbeda
dengan pandangan serta pendapat para bangsawan dan tokoh-tokoh Quraisy
lainnya. Mereka menyenangi karakter serta perilaku Muhammad SAW yang
jujur dan terpercaya.
Tapi, semuanya berbalik 180 derajat ketika beliau (SAW) mengumumkan
kenabiannya. Mereka membencinya. Mereka menganggap Muhammad SAW tidak
waras. Mereka katakan bahwa apa yang disampaikan Muhammad SAW bukanlah
firman Tuhan melainkan syair yang dibuatnya sendiri. Mereka mencap
beliau sebagai dalang dibalik perpecahan keluarga. Mereka juga
menuduhnya sebagai seorang tukang sihir jahat, atau tukang ramal (kahin), dan mereka ingin membunuhnya.
Suatu ketika, terjadi migrasi besar-besaran di Makkah. Ratusan orang pengikut Muhammad SAW pergi dari
kota itu karena merasa tertindas dan diperlakukan dengan buruk. Umar
bin Khattab RA terlihat berbincang bersama seorang wanita yang hendak
pergi, dia berkata, “Apakah engkau hendak pergi?” Dia (wanita itu) menjawab, “Ya, karena engkau menindas kami.” Dia berkata, “Semoga Allah bersamamu.”
Wanita itu terkesan dengan ucapannya dan menceritakan percakapannya kepada suaminya, dan dia berkata, “Sepertinya engkau mengharapkan Umar menjadi seorang Muslim? Lihat ya, keledai ayahnya akan menjadi Muslim sebelum dia.”
Peristiwa Menggetarkan Hati
Siapa yang bakal menyangka, Umar bin Khattab RA yang tadinya sangat
memusuhi Nabi SAW kemudian akan menjadi salah seorang yang paling besar
pengaruhnya dalam Islam.
“Terkadang orang dengan masa lalu yang buruk membuat masa depan terbaik.” – Umar bin Khattab RA
Suatu malam, dia hendak pergi ke kedai minuman, dia selalu mencintai
araknya (sebelum menjadi Muslim). Tapi, semua kedai minuman yang ada di
pusat kota Makkah sudah tutup karena malam sudah terlalu larut dan tidak
ada lagi orang yang keluar rumah. Maka dia pun berjalan-jalan sekedar
mencari angin ke Kabah.
Sesampainya di tempat itu, Umar RA melihat Muhammad SAW yang sedang
khusu` dalam shalatnya. Sendirian, ditengah malam buta, ketika semua
orang sedang terlelap dalam tidur dan mimpi indahnya. Fikiran jahatnya
pun mengawang-awang untuk mencelakai beliau (SAW).
Dia mengendap-endap mengitari Kabah, bersembunyi di balik kain
penutup Kabah, sampai berada tepat di hadapan Nabi SAW. Muhammad SAW
tidak menyadarinya.
Dia berada dalam jarak yang sangat dekat hingga bisa mendengar
ayat-ayat suci Al Qur’an yang sedang dibaca Nabi SAW. Namun, tidak
seperti orang-orang kafir Quraisy yang akan segera menutup telinga
mereka rapat-rapat, Umar RA mendengarkannya. Dia berkata, “Ini pastilah kata-kata seorang penyair. Ini indah sekali…”
Nabi SAW sedang membaca surat Al-Haqqah, dan ayat yang sedang dibacanya adalah,
“Dan ini bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” — Qur’an 69:41
Umar RA terperanjat. Dia berkata, “Ini pastilah perkataan seorang Kaahin! –tukang ramal. Bagaimana mungkin dia bisa tahu apa yang sedang kupikirkan?!”
Nabi SAW membaca ayat selanjutnya,
“Dan bukan pula perkataan tukang ramal. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya.” — Qur’an 69:42
Umar RA terdiam, dia terus mendengarkan, dan kemudian berlalu dari tempat itu.
Dendam Kepada Nabi SAW
Pada suatu hari, beberapa pemuda pentolan Quraisy sedang berkumpul di
sekitar Kabah. Mereka sedang berbincang mengenai krisis kekeluargaan
yang sedang merusak dimana-mana rumah tangga. Menurut orang-orang yang
lebih tua dan para senior, masalah itu sudah sangat mengkhawatirkan,
ramai anak-anak yang sudah tidak lagi mau menuruti kata-kata orang tua
–untuk patuh dan menyembah berhala. Belum lagi egaliter para budak yang tidak pernah ada sebelumnya. Dan semuanya itu berawal dari kenabian Muhammad SAW.
Para pemuda itu berpikir akan mengakhiri krisis tersebut tapi mereka
tidak tahu bagaimana cara memulainya. Umar bin Khattab RA datang
menghampiri mereka, kemudian duduk sambil mendengarkan perbincangan
mereka, kemudian dia berkata, “Akulah yang akan pergi membunuhnya!”
Sebelumnya, telah terjadi suatu insiden di depan Kabah yang membuatnya bisa berkata seperti itu.
Siang itu, pamannya –`Amr ibn Hisham (alias Abu Jahl)–
sedang berada di sekitar Kabah dan melihat Muhammad SAW yang juga sedang
berada disana. Abu Jahl datang menghampiri beliau (SAW) kemudian
mengumpat serta memaki-maki beliau (SAW) di depan ramai orang. Nabi SAW
tidak membalasnya kecuali diam. Karena tidak direspon, Abu Jahl semakin
berang, kemudian memukul beliau (SAW) hingga Nabi SAW terjatuh dan
tubuhnya terluka.
Peristiwa itu terjadi di tengah siang hari bolong. Ramai yang
melihatnya, tapi tak satupun dari mereka yang berani melerai apalagi
membela Muhammad SAW. Kabarnya kemudian sampai ke telinga paman Nabi SAW
–Hamzah ibn `Abdul Muttalib RA– yang ketika itu sedang berada
di luar kota Makkah, sedang berburu. Hamzah RA lantas bergegas kembali
ke kota dan menemui Abu Jahl.
Setelah bertemu, Hamzah RA memukul Abu Jahl –beberapa narasinya
menyebutkan dengan busur panahnya– hingga wajah, atau bagian tubuh Abu
Jahl lainnya terluka. Hamzah RA berkata, “Berani-beraninya kau
mengatakan hal (yang tak pantas) itu pada keponakanku, dan memukulinya,
sementara aku adalah salah seorang diantara (pengikut)nya.”
Abu Jahl terperanjat. Dia tidak pernah menyangka apalagi
memikirkannya, begitu pula dengan para pembesar dan tokoh-tokoh Quraisy
lainnya. Hamzah RA telah memeluk Islam secara diam-diam. Hari itu semua
orang akhirnya tahu bahwa Hamzah RA telah menjadi seorang
Muslim. Demikianlah, peristiwa itu menjadi motif Umar bin Khattab RA.
Pergi Membunuh Nabi SAW
Suatu siang yang sangat panas, Umar bin Khattab RA terlihat berjalan
tergesa-gesa menyusuri lorong-lorong kota Makkah bersama pedangnya.
Sorot matanya tajam penuh kebencian dan dia siap menghabisi Muhammad
SAW.
Ditengah perjalanan, Nuaim ibn Abdullah melihatnya, dan kemudian menyapanya, dia berkata, “Mau kemana, ya Umar? Apakah semuanya baik-baik saja?” Dia berkata, “Hari
ini akan kuhabisi nyawanya. Orang yang telah memecah belah persatuan
bangsa kita, orang yang telah membodohi kita, orang yang telah mengutuk
tuhan-tuhan kita, aku akan membunuhnya!” Nuaim lantas berkata, “Tapi, engkau tokoh masyarakat, engkau orang yang pintar, ya Umar. Quraisy sangat menghormatimu.” Dia berkata, “Aku
tidak peduli, akan kuserahkan sendiri jasadnya kepada kaumnya. Meskipun
aku terbunuh karenanya, aku tidak peduli. Akan kuselesaikan masalah ini
sekarang juga!”
Nuaim berkata, “Baiklah, tapi sebelum engkau pergi, mengapa tak kau lihat keluargamu sendiri.” Dia berkata, “Apa maksudmu?!” Nuaim berkata, “Adik
(perempuan)mu –Fatimah bint Khattab, dan suaminya telah menjadi Muslim.
Mereka mendukung Muhammad (SAW). Pergilah, urusi mereka terlebih
dahulu.”
Umar RA terdiam, dia berusaha mengontrol emosinya. Apa lacur,
disaat di hadapan semua orang dirinya tegas-tegas menolak kenabian
Muhammad SAW serta mengeluarkan larangan juga hukuman bagi kaumnya
(berikut budak-budak mereka) yang telah memeluk Islam, tapi
dibelakangnya, tanpa sepengetahuannya, adiknya sendiri telah menjadi
pengikut Muhammad SAW.
Dia ingin menguji kebenaran kata-kata Nuaim. Dia memutar langkahnya lantas pergi menuju rumah Fatimah bint Khattab.
Sesampainya di tempat itu, sayup-sayup didengarnya suara beberapa
orang dari balik dinding rumah. Suara-suara itu terdengar menggumam,
seperti sedang membaca sesuatu. Umar RA lantas mengetuk pintu dengan
keras.
Ketika itu, Fatimah bint Khattab sedang bersama suaminya –Sa`id ibn Zaid RA– serta Khabbab ibn `Art RA, dan mereka sedang belajar membaca serta menghapal Al Qur’an yang dibimbing Khabbab RA.
Dan suara ketukan pintu itu membuat mereka terkejut. Khabbab RA
segera melompat dan sembunyi sambil membawa beberapa lembar mushaf
bersamanya. Sementara, Fatimah berdiri dan mendekati pintu, dia mengatur
nafasnya dan berusaha tetap tenang kemudian membukakannya. Sa`id
RA pergi ke salah satu sudut ruangan, dan duduk dengan tenang.
Umar RA masuk dan bertanya dengan suaranya yang lantang, dia berkata, “Suara apa tadi yang kudengar!?” Fatimah menjawab, “Bukan apa-apa. Kami sedang berbincang-bincang saja.” Umar RA berkata, “Jangan bohong padaku! Suara apa tadi? Apa kau telah menjadi Muslim?!”
Fatimah tak bisa menjawab. Suaranya terbata-bata. Dia sangat ketakutan. Kemudian Sa`id RA maju dan berkata, “Bagaimana kalau Islam itu ternyata lebih baik daripada agamamu?”
Kata-kata itu seperti bensin yang menyiram bara api. Umar RA lantas
melabrak Sa`id RA dan memukulinya. Mereka bergumul di atas lantai
sementara Umar RA mengatasi Sa`id RA dan terus menghajarnya.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Fatimah berusaha melerai
perkelahian itu, tapi apalah dayanya. Dia pun terkena pukulan Umar RA
hingga wajahnya terluka dan berdarah.
Tiba-tiba, Fatimah berkata dengan keras, “Kau musuh Allah!”
Umar bin Khattab RA terhenti, dan menatap wajah adiknya. Fatimah kemudian berkata, “Kau
memukulku hanya karena aku beriman kepada Allah? Kau tak peduli apakah
kau akan menyukainya atau tidak. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sekarang lakukanlah apapun yang
kau inginkan!”
Suasana menjadi hening, dan Umar RA mulai berdiri menjauhi Sa`id RA.
Dia terduduk di salah satu sudut ruangan, berusaha mengontrol emosinya.
Dia menyesal telah melukai wajah adiknya, tapi disaat yang sama,
perasaannya masih tak menentu.
Matanya kemudian tertuju ke sebuah lembaran (mushaf Al Qur’an) yang tidak berhasil disembunyikan, dan dia berkata, “Apa itu? Berikanlah kepadaku.” Fatimah berkata, “Tidak!” Dia berkata, “Apa yang kau katakan telah menusuk jantungku. Aku berjanji, akan kuserahkan kembali, berikanlah kepadaku.” Fatimah berkata, “Kau musyrik! Kau harus bersuci.”
Khabbab RA akhirnya memberanikan diri keluar dari tempat
persembunyiannya, dan mendukung perkataan Fatimah. Umar RA pun
mendengarkannya. Setelah sejenak, Umar RA pergi untuk mandi dan kemudian
kembali kepada mereka.
Untuk pertama kalinya, dia melihat goresan ayat-ayat suci Al Qur’an, dan membacanya.
Demikianlah, Umar bin Khattab RA membaca ayat-ayat pembuka surat Thaha. Sesudahnya, Umar RA tak kuasa lagi menahan air matanya, dan dia berkata, “Inikah yang dimusuhi Quraisy (selama ini)? Seseorang yang membawanya haruslah dipuja, dimana Muhammad (SAW)?”
“(1) Thaa haa. (2) Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini agar kamu menjadi susah. (3) Tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah SWT). (4) Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” — Qur’an 20:1-4
0 Response to "Umar Bin Khattab"
Post a Comment